PIKIRAN.CO, Yangon – Sebanyak 19 warga Myanmar dijatuhi hukuman mati atas tuduhan pembunuhan seorang rekanan dari kapten militer di negara itu. Hukuman tersebut menjadi yang pertama kali diumumkan sejak kudeta 1 Februari lalu.
Stasiun TV milik Junta, Myawaddy, pada Jumat (9/4/2021) malam melaporkan, pembunuhan itu terjadi pada 27 Maret lalu di Distrik Okkalapa Utara, Yangon, di tengah meningkatnya unjuk rasa warga sipil menentang kudeta.
Akibatnya, junta memberlakukan darurat militer di distrik tersebut, dan pengadilan militer diminta untuk menjatuhkan hukuman.
Setelah mengumumkan vonis hukuman mati, junta militer yang menggulingkan pemerintahan sipil mengklaim bahwa, demonstrasi antikudeta semakin berkurang karena masyarakat tampaknya menginginkan perdamaian.
Juru bicara junta militer Myanmar, Zaw Min Tun, pada konferensi pers di Ibu Kota Naypyitaw mengatakan bahwa negaranya akan segera kembali normal. Dia yakin, kementerian hingga pusat keuangan akan segera beroperasi penuh setelah sempat lumpuh
Baca Juga : Protes Myanmar Berlanjut, Aparat Tangkap Aktor Paing Takhon
“Alasan mereka (demonstran) mengurangi unjuk rasa adalah karena mulai memunculkan kerja sama dalam menciptakan perdamaian, kami hargai itu. Kami meminta warga untuk bekerja sama dengan aparat keamanan,” kata Zaw Min Tun, seperti dilansir di laman Reuters, Sabtu (10/4/2021).
Namun sebaliknya, media lokal melaporkan demonstrasi masih memanas di sejumlah wilayah di negara itu. Aparat keamanan dilaporkan menembakkan granat senapan ke pengunjuk rasa antikudeta pada Jumat di kota Bago, dekat Yangon. Setidaknya 10 orang tewas. Naas, tubuh para korban pun ditumpuk di dalam pagoda, kata para saksi.
Portal berita daring Myanmar Now dan Mawkun mengatakan jumlah yang lebih banyak, yakni sedikitnya 20 orang tewas dan banyak yang mengalami luka-luka. Hingga kini masyarakat dan para aktivia masih kesulitan untuk memastikan jumlah korban yang tewas, pasalnya aparat menutup daerah di sekitar lokasi.
Kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP) pada Kamis malam mengatakan setidaknya 614 warga sipil, termasuk 48 anak-anak, telah dibunuh oleh aparat keamanan sejak kudeta 1 Februari. Selain itu, lebih dari 2.800 orang masih ditahan.
(D.C)