PIKIRAN.CO, Jakarta – Penembakan di Mabes Polri, Jakarta yang terjadi kemarin (31/3/2021) oleh ZA (25) dinilai memiliki pola serangan yang biasa dilakukan pengikut Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
ZA melakukan penembakan di Mabes Polri setelah dirinya berhasil masuk melewati penjagaan petugas. Ia bahkan sempat berbincang menanyakan dimana letak kantor pos. Setelah itu Ia berjalan menuju pos penjagaan depan lalu menodongkan sepucuk senjata yang dibawanya ke arah petugas. Aksi saling tembak tak terhindarkan. Ia pun tewas karena tertembak tepat di jantung.
Aksinya tersebut hanya berselang tiga hari sejak aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, pada Minggu (28/3/2021).
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridwan Habib menduga aksi semacam ini dapat memicu efek domino alias menginspirasi pengikut jaringan teroris lain melakukan serangan serupa.
Baca Juga: Polri : 7 Terduga Teroris Bom Bunuh Diri di Makasar Jaringan JAD
“Ini yang wanita aja berani, masa laki-laki cuma rebahan. Ini makanya harus hati-hati, aksi ini menjadi inspirasi bagi aksi-aksi yang lain,” ujar Ridwan seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Rabu (31/3/2021) malam.
Menurutnya, pola serangan sporadis, tak terstruktur, tanpa rencana matang, serta beberapa kali melibatkan perempuan seperti itu memang menjadi pola serangan yang digunakan kelompok JAD. Kata dia, aksi tersebut dilakukan tanpa komando dan tidak bergantung pada pemimpin.
“Enggak perlu ada fatwa pimpinan. Pokoknya siapa pun dari anggota yang meyakini ideologi ini kalau melakukan aksi ijtihadiyah, bunuh diri, dipersilakan siapapun yang ready,” tambahnya
Ia menilai pola serangan tersebut justru lebih berbahaya karena akan memotivasi sesama anggota yang lain untuk melakukan hal serupa.
“Apalagi ini wanita. Wanita bisa menginsipirasi laki-laki. Mereka pasti malu. Laki-laki, teroris maksud saya. Mereka pasti malu lah,” ucapnya.
Sebelumnya, Kapolri Jendral Listyo Sigit menyebut ZA merupakan pelaku tunggal alias lonewolf. Kepolisian juga menyita surat wasiat dari rumahnya di Ciracas, Jakarta Timur.
Namun, Habib mencurigai ZA bukan merupakan lonewolf atau teroris tunggal tanpa jaringan. Menurutnya, serangan teror oleh anggota JAD kerap dilakukan secara bersama-sama, minimal dua sampai tiga orang.
“Kalau lonewolf, itu kalau sama sekali dia enggak punya jaringan. Kalau saya sih menduga ini ada temennya, entah dua, tiga orang. Tapi saya melihat dia enggak mungkin belajar sendiri,” katanya.
(N.N.V)